HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Komunikasi Antar Budaya
Dosen Pengampu:
Zaimatur Rofiah, M.A
Oleh:
Arif
...........................................................
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
JURUSAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUNAN DRAJAT
(STAIDRA)
KRANJI PACIRAN LAMONGAN
DESEMBER 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
memberikan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya kepada kita. Sehingga makalah yang
berjudul Hambatan dalam Komunikasi Antar Budaya ini dapat diselesaikan dengan
baik. Shalawat dan salam mudah-mudahan tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Seiring dengan itu penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua
yang telah memberikan Do’a serta dukungannya dan kasih sayang tiada henti, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Makalah ini dapat diselesaikan karena dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Zaimatur
Rofiah, M.A selaku dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Antar Budaya, kepada
pihak pengelolah perpus STAIDRA yang turut membantu menemukan beberapa buku
refrensi, dan kepada teman-teman mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam yang
turut memberikan dukungan serta membantu kami dalam menjalankan kegiatan diskusi
tentang makalah ini. Kemudian diharapkan mudah-mudahan makalah yang berjudul
tentang Hambatan dalam Komunikasi Antar Budaya ini bisa
membawa manfaat tidak hanya bagi penulis, namun juga bagi pembaca untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Kranji, 03 Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL.............................................................................. i
KATA
PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR
ISI.............................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan Penulisan Makalah................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etnosentrisme.................................................................. 2
B. Macam-macam Tipe Etnosentrisme.................................................. 4
C. Faktor yang Mempengaruhi Etnosentrisme...................................... 6
D. Pengertian Rasialisme........................................................................ 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 14
B.
Saran................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan di wariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Cara anda
berpakaian, hubungan anda dengan orang tua dan teman-teman anda, apa yang anda
harapkan dari perkawinan dan pekerjaan, makanan yang anda makan, bahasa yang
anda gunakan, semuanya itu dipengaruhi oleh budaya anda. Ini tidak berarti
bahwa berpikir, percaya, dan bertindak sama persis seperti setiap orang lainnya
dalam budaya anda. Tidak semua anggota budaya memiliki semua unsur budaya
secara bersama. Selain itu, sebuah budaya akan berubah dan berevolusi dari
waktu ke waktu. Namun, seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok secara keseluruhan dan dapat dilacak, meskipun telah berubah banyak,
dari generasi ke generasi. Komunikasi Antarbudaya merupakan komunikasi antara
orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau
perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, kemudian
dirumuskan menjadi beberapa masalah, diantaranya adalah:
1. Apa
pengertian Etnosentrisme?
2. Apa
saja macam-macam Tipe Etnosentrime?
3. Hal
apa sajakah faktor yang mempengaruhi Etnosentrisme?
4. Apa
pengertian pengertian Rasialisme?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui segala apa yang disebutkan dalam rumusan masalah di
atas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Etnosentrisme
Pengertian Teori Etnosentrisme adalah
William Graham Sumner menilai bahwa masyarakat tetap memiliki sifat heterogen
(pengikut aliran evolusi). Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang
yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri
sendiri sehingga menghasilkan hubungan diantara manusia yang bersifat
antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat
dicegah maka perlu adanya folksways
yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan menjadi adat
istiadat (custom), kemudian menjadi
norma-norma susila (mores), dan
akhirnya menjadi hukum (laws).
Kerjasama antar individu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama
antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan
kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups
yang berlawanan dengan rasa outgroups
atau they groups yang bermuara pada
sikap etnosentris.
Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang
memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa
folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Seperti yang dikutip oleh Levine dkk
(1972) teori etnosentrisme Sumner mempunyai tiga segi, yaitu:
1. Sejumlah
masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan
sebagai sindrom.
2. Sindrom-sindrom etnosentrisme secara fungsional berhubungan
dengan susunan dan keberadaan kelompok serta persaingan antarkelompok.
3. Adanya
generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut.
Ia menyebutkan sindrom itu seperti:
kelompok intra yang aman (ingroups)
sementara kelompok lain (outgroups)
diremehkan atau malah tidak aman.
Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap
kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap
etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang
norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan
digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua
kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan komunikasi
antarbudaya dapat dijelaskan
dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter
(1976). Katanya ada variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi
antarbudaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme, pandangan hidup,
nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip.
Sebagai konsekuensi dari identitas etnis
muncullah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan
untuk melihat dunia hanya melalui sudut
pandang budaya sendiri. Berdasarkan defenisi ini etnosentrisme tidak selalu
negatip sebagaimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga
merupakan sesuatu yang positif, tidak seperti anggapan umum yang mengatakan
bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme
juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam
perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme
benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrime, kelompok yang terlibat
konflik dengan kelompok lain akan saling mendukung satu sama lain. Salah satu
contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura
di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu
para pengungsi.
Etnosentrisme didefinisikan sebagai
kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri;
etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok,
etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok
dan dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing
dengan budayanya sendiri.
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme,
kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari
masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita
sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya “yang salah”,
maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita
akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin
tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya
kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan
budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik
di antaranya. Contoh: konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku
madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing
tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya
anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah
dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian
yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain.
Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya
yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli, budaya timur dinilai
sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita
cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu
banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar dan budaya barat sebagai polusi
pencemar.[1]
B.
Macam-macam
Tipe Etnosentrisme
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu
sama lain saling berlawanan yaitu antara lain:
1. Etnosentrime
Fleksibel
Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini
dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara
tepat dan bereaksi terhadap suatu
realitas didasrkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku
orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
2. Etnosentrisme
Infleksibel
Etnosentrisme ini dicirikan dengan
ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa
memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Indikator terbaik menetukan tipe
etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang dalam
menginterprestasi perilaku orang lain. Misalnya, seorang etnis Minang makan
sambil jalan digang rumah, maka kita memandang dari perpektif sendiri dan
mengatakan "dia tidak sopan" atau "itulah mengapa dia tidak
disukai" berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika kita
mengatakan "itulah cara yang dipelajari unuk melakukannya" berarti
mungkin kita memiliki etnosentrime yang fleksibel.
Lawan dari etnosentrisme adalah
etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok semua budaya da
subkultur pada hakekatnya sama ( Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap
kelompok dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya.
Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah
oarnag yang telah mencapai tahapan
sebagai manusia sejati atau manusia humanis.
Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak
hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik dan
ketergantungaan. Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin
tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian
(Helmi, 1991) misalnya, menemukan bahwa generasi muda etnik Cina memiliki sikap etnosentrik
lebih rendah dari pada yang tua. Temuan ini membuktikan bahwa semakin terikat
seseorang terhadap etniknya maka semakin tinggi pula etnosentrime yang
dimiliki. Sebab generasi tua etnik Cina umumnya masih cukup kuat terikat dengan
negeri leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan
masyarakat mayoritas lainnya.
Mungkin kita menduga bahwa keterikatan
yang kuat dengan budaya etnik akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan.
Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia
menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan
diikuti dengan sikap kebangsaan yang positip. Sebaliknya menurunnya keterikatan
seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang senegatif.
Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat dengan budaya etniknya lantas
melunturkan sikap kebangsaannya. Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali namun patut untuk dipelihara karena etnosentrisme
memang fungsional. Dalam hai ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai
bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya.[2]
C.
Faktor
yang Mempengaruhi Etnosentrisme
Ada tiga faktor yang mempengaruhi
etnosentrisme, yaitu: [1] Prasangka sosial [2] Stereotipe dan [3] jarak sosial.
1. Prasangka
Sosial
Allport (1958) mengemukakan bahwa
pengertian perasangka telah mangalami transformasi sejak dahulu sampai kini.
Pada mulanya perasangka merupakan pernyataan
yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak diuji terlebih dahulu.
Pernyataan itu bergerak pada suatu skala suka dengan tidak suka, mendukung
dengan tidak mendukung terhadap sifat-sifat tertentu. Namun pengertian
perasangka kini lebih diarahkan pada pandangan yang emosional dan bersifat negatif
terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Effendy (1981) mengemukakan
pengertian perasangka dalam hubungannya dengan komunikasi bahwa perasangka
merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan
komunikasi oleh karena orang-orang yang mempunyai perasangka belum apa-apa
sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Dalam perasangka emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar
perasangka tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang
nyata.
Menurut Jones (1972), prasangka adalah
sikap antisipasi yang didasarkan pada suatu cara menggeneralisasi yang salah
dan tidak fleksibel. Kesalahan itu mungkin saja terungkap dengan nyata dan
langsung ditujukan kepada seseorang yang menjadi anggota suatu kelompok
tertentu. Perasangka merupakan sikap yang negatif yang diarahkan kepada
seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri. Pernyataan tersebut
sebenarnya tetap berakar pada perspektif etnosentrisme yang telah diuraikan.
Sehingga perasangka sosial diduga kuat sekali pengaruhnya terhadap komunikasi
antaretnik.
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang
yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip.
Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok.
Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan
prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagi. Dapat dikatakan bahwa
stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan
prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi, prasangka ini konsekuensi dari
stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip. Richard W. Brislin
mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak
toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat
positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif. Prasangka ini
bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan,
prasangka gender, dan prasangka agama. Prasangka mungkin dirasakan atau
dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan pada suatu kelompok secara keseluruhan,
atau seseorang karena ia anggota kelompok tersebut. Prasangka membatasi
orang-orang pada peran-peran stereotipik. Misalnya pada prasangka
rasial-rasisme semata-mata didasarkan pada ras dan pada prasangka
gender-seksisme pada gendernya.
Brislin menyatakan bahwa prasangka itu
mencakup hal-hal berikut: memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi
kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain pada saat tertentu, namun
menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti
terlambat padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Ini berarti bahwa hingga
derajat tertentu kita sebenarnya berprasangka terhadap suatu kelompok. Jadi
kita tidak dapat tidak berprasangka. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem
adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang
terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok
tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya. Contohnya
diskriminasi terhadap orang negro yang ada di amerika.
Prasangka dapat menghambat komunikasi.
Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu
kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang
yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih meyenagkan daripada
interaksi dengan orang tak dikenal. Ada beberapa contoh prasangka misalnya.
orang Jepang kaku dan pekerja keras, orang Cina mata duitan, politikus itu
penipu, wanita sebagai objek seks, dan lain-lain. Prasangka mungkin tidak
didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin
bisa macet karena berlandaskan persepsi yang keliru, yang pada gilirannya
membuat orang lain juga salah mempersepsi kita. Cara yang terbaik untuk
mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan
mengenal mereka lebih baik, meskipun kadang cara ini tidak berhasil dalam semua
situasi.
Johnson
(1986) juga mengemukakan, prasangka disebabkan karena:
a. Gambaran
perbedaan antar kelompok.
b. Adanya
nilai yang dimiliki kelompok lain nampaknya sangat menguasai kelompok
minoritas, karena adanya stereotif,dan perasaan superior pada kelompok sendiri.
Sementara
itu Zastrow (1989) menjelaskan bahwa prasangka dapat bersumber dari
a. Proyeksi
(usaha untuk mempertahankan ciri diri sendiri secara berlebihan)
b. Frustasi,
agresi, kecewa dan mengarah pada sikap menantang
c. Berhadapan
dengan ketidaksamaan dan kerendahdirian
d. Kesewenang-wenangan
e. alasan
historis
f.
persaingan yang tidak sehat dan menjurus
ke arah eksploitasi
g. cara-cara
sosialisasi yang berlebihan dan memandang kelompok lain dengan pandangan yang
sinis.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa
prasangka merupakan suatu sikap yang sangat negatif yang diarahkan kepada
kelompok tertentu dan lebih difokuskan pada suatu ciri-ciri negatif ataupun
lebih pada kelompok tersebut. Sikap demikian bisa dikatakan sebagai sikap yang
menghambat efektivitas komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang
berbeda etniknya.
Dalam kajian teoritis ini (Liliweri,1994)
ada tiga faktor penentu perasangka yang di duga mempengaruhi komunikasi yaitu:
a. Stereotip
b. Jarak
sosial
c. Diskriminasi
2.
Stereotip
Menurut Verdeber (1986) dalam Liliweri
(2001), yang dimaksud dengan stereotip adalah sikap dan karakter yang dimiliki
seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan pengelompokkan kelas
atau pengelompokkan yang dibuatnya sendiri.
Johnson (1986) mengemukakan stereotip
adalah suatu keyakinan seseorang terhadap orang lain (karena dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman). Keyakinan itu membuat kita memperkirakan perbedaan
antarkelompok yang mungkin kelewat tinggi ataupun terlalu rendah sebagai ciri
khas seseorang maupun kelompoknya.
Stereotip cenderung mengarah pada sikap
yang negatif terhadap orang lain, menurut Gerungan (1988), stereotip merupakan
suatu gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi
orang golongan lain yang umumnya bercorak negatip. Selanjutnya kata Gerungan,
stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berperasangka
sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang- orang
lain yang dikenakan perasangka itu.
Stereotip juga dapat ditemukan dalam
lingkup nasional. Dinegara kita misalnya terdapat stereotip-stereotip
antarsuku. Tidak jarang kita mendengar bahwa orang Sunda suka basa-basi,
lelakinya tukang kawin, wanitanya pesolek, orang Padang pelit, orang Jawa halus
pembawaan dan penganut aliran kepercayaan, orang Batak kasar, laki-laki
berpikir logis, wanita bersikap mentaldan sebagainya.
Dapat disimpulkan, jika komunikasi
diantara mereka yang berbeda etnik didahuli oleh sereotip yang negatip
antaretnik akan mempengaruhi efektivitas komunikasi. Bahkan pada gilirannya
akan menghambat integrasi manusia yang sudah pasti harus dilakukan lewat
komunikasi, baik komunikasi verbal maupun komunikasi bermedia (massa). Dengan
demikian, keberadaan stereotip-stereotip antaretnik di negara kita pun dapat
pula menghambat integrasi suku-suku bangsa tersebut.
Kesulitan komunikasi akan muncul dari
penstereotipan (stereotyping), yakni:
menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk
asumsi orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan
kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke dalam
kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau
objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang sesuai, ketimbang berdasarkan
karakteristik individual mereka. Banyak definisi stereotype yang dikemukakan
oleh para ahli, kalau boleh disimpulkan, stereotip adalah kategorisasi atas
suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan
individual. Kelimpik-kelompok ini mencakup: kelompok ras, kelompok etnik, kaum
tua, berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu.
Stereotip tidak memandang individu-individu dalam kelompok tersebut sebagai
orang atau individu yang unik.
Menurut Baron dan Paulus ada beberapa
faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia kita
cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Karena
kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka
semua, dan mengangap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya
bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit
mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip
menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar
kita. Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada
umumnya, stereotip bersifat negative. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita
simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan
manusia. Stereotip dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri.
Contoh dalam konteks komunikasi lintas budaya misalnya, kita melakukan persepsi
stereotip terhadap orang padang bahwa orang padang itu pelit. Lewat stereotip
itu, kita memperlakukan semua orang padang sebagai orang yang pelit tanpa
memandang pribadi atau keunikan masing-masing individu. Orang padang yang kita
perlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan
munculnya konflik. Atau misal stereotip terhadap orang batak bahwa mereka itu
kasar. Dengan adanya persepsi itu, kita yang tidak suka terhadap orang yang
kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang batak sehingga
komunikasi dengan orang batak tidak dapat berlangsung lancar dan efektif.
Stereotip terhadap orang afrika-negro yang negatif menyebabkan mereka terbiasa
diperlakukan sebagai kriminal. Contohnya, di Amerika bila seseorang (kulit putih)
kebetulan berada satu tempat atau ruang dengan orang negro mereka akan secara refleks, melindungi tas atau barang
mereka, karena menggangap orang negro tersebut adalah seorang pencuri. Namun,
belakangan, stereotip terhadap orang negro sudah mulai berkurang terleih sejak
presiden amerika saat ini juga keturunan negro. Orang Indonesia sendiri di mata
dunia juga sering distereotipkan sebagai orang-orang “Anarkis”, “bodoh”,
konservatif, primitif, dan lain-lain.
3.
Jarak Sosial
Salah satu faktor yang diduga
mempengaruhi efektivitas komunikasi
antaretnik adalah jarak sosial. Menurut Deaux (1984), jarak sosial
merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat penerimaan
seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi diantara mereka.
Doobs (1985) mengemukakan jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan
seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu.[3]
Secara teoritis pengukuran jarak sosial
temuan Emory Bogardus yang diikuti Gerungen (1988) itu mengukur penerimaan
seseorang terhadap orang lain dalam unsur-unsur seperti:
a. Kesediaan
untuk menikah dengan orang lain
b. Bergaul
rapat sebagai kawan anggota dalam klubnya
c. Menerimanya
sebagai tetangga
d. Menerimanya
sebagai rekan sejawatnya
e. Menerimanya
sebagai pengunjung negaranya
f.
Menerimanya sebagai warganegaranya, dan Tidak
ingin menerimanya dalam negaranya.
Berdasarkan skala Borgadus itu dapat
diketahui derajat penerimaan seseorang terhadap orang dari kelompok lain,
siapakah dari kelompok lain yang paling
dekat, sebaliknya siapakah yang paling jauh.
Liliweri (2001) berasumsi bahwa semakin
dekat jarak sosial seseorang komunikator
dari suatu etnik dengan seorang
komunikan dari etnik lain, maka semakin efektif pula komunikasi
diantara mereka. Sebaliknya jika semakin jauh jarak sosial maka semakin kurang
efektif komunikasi.[4]
D.
Pengertian
Rasialisme
Rasialisme adalah suatu penekanan pada
ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada
suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi
separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan
budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari
rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika istilah
rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional,
rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang
mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme
melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan
rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa
konotasi-konotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah
pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial. Didefinisikan
sebagai perilaku yang diskriminatif atau semena-mena yang ditujukan kepada anggota
kelompok pada golongan ras tertentu.
Selain menjadi faktor penghambat
komunikasi antar budaya yang berbeda, rasis juga dapat memicu terjadinya
pertikaian bahkan konflik yang berkepanjangan antar ras, suku, agama yang
berbeda dan susah untuk di damaikan.
Dalam website
online free dictionary, racialism
didefinisikan sebagai perlakuan diskriminatif atau semena-mena yang diberikan
kepada anggota suatu kelompok ras tertentu. Diskriminasi berupa perlakuan tidak
adil seseorang atau suatu kelompok berdasarkan prasangka.
Rasialisme di sini menjadi sangat
berbahaya karena selain menghambat keefektifan komunikasi antar budaya, antar
ras yang berbeda. Rasialisme dapat menjadi pemicu pertikaian antar ras, di mana
konflik yang terjadi akan sulit sekali untuk didamaikan dan berlangsung lama.
Contoh, konflik akibat rasialisme yang pernah terjadi dan terkenal di Indonesia
adalah konflik- rasialisme anti Tionghoa, di mana di Indonesia pernah terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap ras Tionghoa yang terjadi di berbagai
wilayah Indonesia. Butuh perjuangan yang panjang agar ras Tionghoa diterima dan
diakui-dihargai keberadaannya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etnosentrisme:
Rasa kepercayaan yang tinggi terhadap budaya sendiri. Sikap kepercayaan dan
keyakinan akan keunggulan budaya sendiri terkadang lebih memandang budaya lain
di luar budaya kita itu berlawanan dan dipandang rendah dan menutup kemungkinan
untuk mau menilai budaya lain sebagai ciri khas dan mempunyai nilai bahkan
keunikan tersendiri.
Stereotipe:
Sikap yang lebih menilai orang kedalam satu kelompok, menempatkan suatu
individu dalam persepsi kelompok sesuai informasi dan pengetahuan yang kita
tahu, bahkan walaupun terkadang informasi dan pengetahuan yang kita miliki
belum cukup untuk menekan hal yang demikian. Sikap ini lebih menilai seseorang
dalam satu kelompok tanpa mau menilai individu dari tiap kelompoknya.
Menurut Baron dan Paulus ada dua faktor
yang menyebabkan manusia bersikap streotipe: Perbedaan “Kita dan Mereka”, ini
disebabkan karena kita kekurangan informasi yang akurat akan mereka, dan kita
seakan meyakini bahkan menyamaratakan semua sama tanpa berfikir dan melihat per
individu dalam sebuah kategori, genre, atau kelompok. Berarti dalam hal ini
stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang orang yang ada di
sekitar dan lingkungan kita.
Prasangka:
Suatu bentuk kesalahpahaman terhadap individu yang berbeda, suatu konsep yang
sangat dekat dengan Stereotipe. Prasangka dapat menimbulkan sikap tidak adil terhadap
seseorang atau pada suatu kelompok.
Menurut Donal Edgar dan Joe R. Fagi,
dikatakan bahwa stereotip sendiri bagian dari komponen (kepercayaan) dari
prasangka, dan sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku, jadi bisa
dikatakan prasangka adalah bentuk konswekuensi dari stereotipe.
Richard W. Brisliin juga mendevinikasikan
sikap prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran
terhadap sekelompok orang.
Menurut Richard juga prasangka meliputi
hal hal berikut seperti: memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi
kelompok lain,bersikap ramah pada kelompok lain pada waktu tertentu.
Rasialisme:
Didefinisikan sebagai perilaku yang diskriminatif atau semena-mena yang
ditujukan kepada anggota kelompok pada golongan “ras” tertentu.
Selain menjadi faktor penghambat
komunikasi antar budaya yang berbeda, rasis jugak dapat memicu terjadinya
pertikaian bahkan konflik yang berkepanjangan antar ras, suku,agama yang
berbeda dan susah untuk di damaikan.
B.
Saran
Setelah membaca dan memahami pokok pembahasan makalah ini, diharapkan
pembaca mampu dapat mengerti Apa saja Hambatan dalam Komunikasi Antar Budaya.
Dan semoga makalah ini bisa menambahkan ilmu pengetahuan bagi penulis dan juga
pembaca, dan membawa manfaat begitu banyak untuk menganalisis sebuah Hambatan
Komunikasi Antar Budaya yang ada di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
(Online),
http://www.kompasiana.com/riwifarichi/etnosentrisme-dan-komunikasi-lintas-budaya_551c03a2a33311d42bb65a16,
Diakses Tanggal 27 November 2016
(Online),
https://luciatriedyana.wordpress.com/2009/04/23/hambatan-hambatan-dalam-komunikasi-lintas-budaya/, Diakses Tanggal
27 November 2016
(Online),
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-teori-etnosentrisme-tipe-dan.html,
Diakses Tanggal 27 November 2016
[1] (Online), http://www.kompasiana.com/riwifarichi/etnosentrisme-dan-komunikasi-lintas-budaya_551c03a2a33311d42bb65a16, Diakses Tanggal 27 November
2016.
[3] (Online), https://luciatriedyana.wordpress.com/2009/04/23/hambatan-hambatan-dalam-komunikasi-lintas-budaya/, Diakses Tanggal 27 November
2016.
[4] (Online), http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-teori-etnosentrisme-tipe-dan.html, Diakses Tanggal 27 November
2016.
[5] About
these ads , (Online), http://en.wikipedia.org/wiki/Racialism, Diakses Tanggal 27 November
2016.
0 komentar:
Posting Komentar