BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dampak Media adalah kumpulan teori yang
menjelaskan mengenai efek teknologi komunikasi yang berbentuk media memberikan
pengaruhnya terhadap perilaku dan cara berpikir manusia di kehidupan sosialnya
dari berbagai perspektif. Media merupakan suatu organisasi terstruktur, yang
menjadi agen penyedia Informasi bagi masyarakat. Media memiliki peran penting
dalam proses pembentukan masyarakat yang lebih dewasa dan modern. Unsur lain
yang tidak kalah pentingnya adalah, seberapa besar media mempengaruhi
masyarakat sebagai penyimak tetap mereka.
Beberapa ahli percaya, bahwa media memberikan
pengaruh yang besar bagi para penontonnya. Sebagai contoh, Adorno dan
Horkheimer (1972) melihat propaganda yang sangat kuat datang dari media dalam
menjelaskan peristiwa berdarah Holocaust dan peristiwa-peristiwa brutal lainnya
yang terjadi ketika Perang Dunia Ke-II. bagus dan Herman (1988) melihat bahwa
media merupakan kurir yang sangat kuat dalam mempromosikan ideologi baru kepada
anggota masyarakat yang memiliki tingkat melek media yang rendah, anak-anak misalnya.
Dalam menjelasan dampak media, ada dua perspektif yang dapat diambil oleh
setiap teori yang ada. Pada umumnya, kebanyakan dari teori menjelaskan dampak
media dengan menggunakan perspektif dari perubahan perilaku yang dialami oleh
individu ketika berinteraksi dengan media. Ada pula teori lain yang menjelaskan,
dampak yang diberikan oleh media dengan menggunakan persepektif sosial secara
luas, dengan cara menganalisis perubahan budaya apa yang terjadi dalam
masyarakat akibat informasi yang datang dari media.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud Teori Jarum Hipodermik?
2.
Apa yang dimaksud Teori Uses dan Grafication?
3.
Apa yang dimaksud Teori Komunikasi Banyak Tahap?
4.
Apa yang dimaksud Teori Proses Selektif?
C.
Tujuan Makalah
1.
Memahami Teori Jarum Hipodermik
2.
Memahami Teori Uses dan Grafications
3.
Memahami Teori Komunikasi Banyak Tahap
4.
Memahami Teori Proses Selektif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Jarum Hipodermik (Hypodermic Needle
Theory)
Teori ini
ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaledioskop stasiun radio
siaran CBS di Amerika berjudul The
Invansion from Mars. Teori ini mengasumsikan bahwa media massa memiliki
kekuatan yang luar biasa, sehingga khalayak tidak mampu membendung informasi
yang dilancarkannya. Sedangkan khalayak dianggap pasif, sehingga tidak bisa
bereaksi apapun kecuali hanya menerima begitu saja semua pesan yang disampaikan
media massa.
Teori ini di
samping mempunyai pengaruh yang sangat kuat juga mengasumsikan bahwa para
pengelola media dianggap sebagai orang yang lebih pintar dibanding khalayak.
Akhirnya, khalayak bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya.
Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa khalayak bisa
ditundukkan atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki
media.
Secara harfiah,
hipodermik berarti “di bawah kulit”. Dalam ilmu komunikasi massa, istilah ini
berkaitan dengan anggapan bahwa media massa menimbulkan efek yang kuat,
terarah, segera, dan langsung, yang sesuai dengan pengertian “perangsang
tanggapan” (setimulus-respon) yang mulai dikenal sejak awal perkembangan ilmu
komunikasi.
Media
digambarkan sebagai jarum hipodermis raksasa yang mencotok massa sebagai
komunikan yang pasif. Media dianggap sangat sakti dan mampu memasukkan ideologi
pada benak massa yang tidak berdaya. Massa komunikasi dianggap terpecah-pecah,
yang berhubungan dengan media massa, tetapi sebaliknya komunikan tidak
terhubungkan satu sama lain.[1]
Contoh kasus: Pada iklan air
mineral yang bermerek Aqua. Dimana pada saat produk air
mineral ini dipublikasikan, secara langsung bisa mempengaruhi asumsi khalayak
bahwasanya air mineral itu adalah Aqua. Sehingga sampai saat ini aqua sudah
terdoktrin di ingatan khalayak. Walaupun sudah banyak merek-merek air mineral
yang bermunculan akan tetapi masyarakat akan hanya mengenal aqua sebagai air
mineral. Dan juga banyak contoh merk atau brand lain yang melekat pada
masyarakat seperti tipe-x berupa cairan menghapus tulisan dari balpoint yang
bermerk tipe-x, sekarang walaupun banyak produk serupa yang berbeda merk dan
brand masyarakat hanya mengenal dengan nama tipe-x.[2]
B.
Teori Uses and Gratifications
Teori Uses and Gratifications merupakan pengembangan dari teori Jarum Hipodermik.
Teori ini tidak tertarik untuk membicarakan apa yang dilakukan oleh media
terhadap khalayaknya, melainkan apa yang dilakukan oleh khalayak terhadap
media. Anggota khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memehi
kebutuhannya. Studi dalam bidang ini memang lebih memusatkan penggunaan (uses)
media untuk mendapatkan pemenuhan (gratifications) atas kebutuhan
seseorang.
Teori ini
merupakan kebalikan dari teori peluru. Teori ini lebih menekankan pada
pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Artinya, menusia itu mempunyai
otonomi, wewenang untuk memperlakukan media. Menurut pendapat teori ini,
konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana (lewat media
mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada
dirinya. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat mempunyai pengaruh jahat
dalam kehidupan.
Dalam situasi
tertentu, kita memang layak untuk bertanya mengapa khalayak memilih untuk
mendengarkan atau melihat media tertentu. Wilbur Schramm dan William Porter
dalam “Men, Women, Messages, and Media”
(1982), mengusulkan formula: Janji imbalan dibagi upaya yang diperlukan
menghasilkan probabilitas seleksi.
Dalam janji
imbalan mencakup imbalan segera maupun imbalan yang tertunda. Imbalan (rewards) memenuhi kebutuhan khalayak.
Maksudnya, Anda memirsa suatu acara televisi tertentu karena acara ini
memuaskan kebutuhan Anda akan informasi atau hiburan. Upaya yang diperlukan
untuk mengikuti komunikasi massa bergantung pada ketersediaan media dan
kemudahan memanfaatkannya.
Uses and Grafications juga membahas motif-motif dan alternatif
fungsional untuk memenuhi kebutuhan. Misalnya, pemikiran yang memakai
pendekatan penggunaan dan gratifikasi, jika individu tertentu, seperti halnya sebagian
besar manusia mempunyai kebutuhan dasar untuk mengadakan interaksi sosial.
Dari pengalamannya, individu ini berharap
bahwa konsumsi atau penggunaan media massa tertentu akan memenuhi sebagian
kebutuhannya itu. Hal ini menuntunnya pada kegiatan menonton program-program
televisi tertentu, membaca isi majalah dan sebagainya. Dalam beberapa kasus,
kegiatan ini menghasilkan gratifikasi kebutuhan, tapi dapat pula menimbulkan
ketergantungan dan perubahan kebiasaan pada individu itu. Dalam contoh ini,
penggunaan media dapat dikatakan merupakan alternatif fungsional bagi interaksi
yang sesungguhnya.
Brown (1976) dalam suatu penelitian dalam
pengguanaan televisi oleh anak-anak memperlihatkan pentingnya media itu dalam
sifatnya yang multi fungsional dan dalam kemampuan memberikan kepuasan yang
bervariasi kepada sejumlah besar anak-anak, seperti memberi penerangan tentang
bagaimana orang hidup di dunia dan memberikan bahan pembicaraan di antara
anak-anak itu.
Contoh
kasus: Channel
Metro TV tentu akan lebih banyak dipilih oleh mereka yang ingin mencari
kepuasan dalam perolehan informasi dan
berita dibanding dari khalayak yang ingin memperoleh suatu pelarian diri dari
rasa khawatir. Orang yang senang sinetron akan memanfaatkan dan mencari
kepuasan pada media yang bisa memberikan kebutuhannya daripada media yang lain.[3]
C.
Teori Komunikasi Banyak Tahap
Beberapa teori memandang pengaruh atau
efek media dalam bentuk tahapan-tahapan atau langkah-langkah. Teori komunikasi
tahapan ini terdiri dari:
1.
Teori satu tahap
Teori ini beranggapan bahwa saluran media
massa berkomunikasi langsung dengan massa komunikan tanpa berlalunya suatu
pesan melalui orang lain, tetapi pesan tersebut tidak mencapai semua komunikan
dan tidak menimbulkan efek yang sama pada setiap individu komunikan.
Teori komunikasi satu tahap adalah
warisan teori jarum hipodermik dalam versi yang lebih murni. Teori ini media
tidak mempunyai kekuatan yang hebat. Aspek pilihan penampilan, penerimaan, dan
penahanan dalam ingatan yang selektif memengaruhi pesan yang ada. Komunikan
bukanlah pihak yang semata-mata dapat dibentuk oleh media seakan pihak yang tak
berdaya. Selain itu, efek media antara satu individu dan lainnya pada massa
tidaklah sama.[4]
Teori ini berpendapat bahwa pengaruh
media bersifat langsung dan segera. Misalnya, Anda menonton televisi, dan Anda
diyakinkan oleh berita yang Anda tonton dan dengarkan. Akibatnya Anda akan
merubah pemikiran dan perilaku sesuai dengan apa yang telah disuntikkan oleh
media televisi. Pesan merasuk dalam diri Anda hanya dalam satu tahap, yaitu
dari media televisi ke Anda.
Variasi dari teori ini adalah teori Jarum
Hipodermik dari Wilbur Schramm. Teori ini mengatakan bahwa media bekerja
seperti peluru yang dibidikkan ke arah sasaran. Sasaran atau khalayak yang
terkena peluru bersikap pasif dan tidak menunjukkan penolakan. Ibaratnya, jika
senapan diisi peluru, dan dibidikkan ke arah sasaran, kemudian peluru tepat
mengenai sasaran, maka sasaran akan merasakan dampak atau efek dari tembakan
tersebut.
Kelemahan teori ini adalah mengabaikan
interaksi antarpribadi. Sebelum sasaran menyerap opini atau mengubah sikap, sasaran
akan mencari dukungan dan konfirmasi dari orang lain.[5]
Teori satu tahap ini mempengaruhi tidak secara menyeluruh, melainkan media ini
mempengaruhi dengan secara individu antar golongan ras, budaya, dan juga agama.
2.
Teori Dua Tahap
Menurut Paul Lazarfeld, Bernard Barelson,
dan Helen Gaudet dalam bukunya The
People’s Choice (1944) orang lebih dipengaruhi oleh orang lain dari pada
oleh media massa (terutama surat kabar radio).
Orang lain atau mereka yang menyebarkan
pengaruh ini adalah pembawa pengaruh (opinion
leader). Komunikasi massa, tidak
secara langsung mempengaruhi orang. Menurut pandangan teori ini, pesan dari
media mempengaruhi pembawa pengaruh. Kemudian pembawa pengaruh akan
mempengaruhi rakyat banyak dalam situasi yang lebih bersifat komunikasi
antarpribadi.
Kelemahan teori ini menurut Wilbur
Schramm dan William Porter (1982), Pertama,
terlalu sederhana dan tidak selalu benar. Karena banyak informasi yang kita
terima berasal langsung dari media. Apalagi media massa, seperti televisi
menikmati kredibilitas yang tinggi. Banyak orang yang menerima apa yang
disajikan media sebagai kebenaran tanpa membutuhkan pendapat orang lain.
Kedua,
konsep pembawa pengaruh harus ditelaah secara mendalam. Pembawa pengaruh
haruslah seseorang yang memiliki pendidikan formal yang lebih baik,
kesejahteraan yang lebih baik, status sosial yang lebih tinggi, dan lebih
terbiasa dengan keberadaan komunikasi massa ketimbang mereka yang dipengaruhi.
Pemuka pendapat juga haruslah seorang yang lebih inovatif, kosmopolitan,
kompeten, dan aksesibel dari pada pihak yang mereka pengaruhi. Banyak pembawa
pengaruh itu adalah berasal dari tokoh media itu sendiri, misalnya pemilik
media massa.[6]
Contoh: seseorang ingin menginformasikan
atau mengiklankan tentang produknya, tapi cara menyebarkan produknya tidak
secara langsung, melainkan dengan cara melalui orang lain atau orang ke dua, lalu
orang kedua baru menyebarkan informasi tersebut ke khalayak. Misalnya,
katakanlah seorang pemilik produk shampo CLEAR. Dia mengiklankan produknya lewat
artis sepak bola yaitu “Ronaldo” sebagai peran orang kedua untuk mempengaruhi
khalayak.
3.
Teori tahap ganda
Teori ini dikembangkan sebagai akibat
kritik terhadap teori dua tahap. Teori ini mengatakan bahwa pengaruh mengalir
ulang-alik dari media ke khalayak (yang berinteraksi satu sama lain) dan
kembali ke media, dan kemudian kembali lagi ke khalayak, dan seterusnya. Ada banyak
langkah yang harus ditempuh sebelum kita menjelaskan pengaruh efek media.
Asumsi bahwa interaksi antarpribadi
terjadi di antara paparan-paparan media. Selama pemaparan ini (baik terhadap
media maupun dalam interaksi antarpribadi), kita dipengaruhi dan mempengaruhi
yang lain. Teori tahap ganda ini lebih akurat dalam menjelaskan apa yang
terjadi dalam pembentukan opini dan sikap. Teori ini juga mengilustrasikan
bahwa setiap orang dipengaruhi baik oleh media maupun oleh interaksi
antarpribadi, dan selanjutnya mempengaruhi media dan orang lain.[7]
Contoh: media radio, pada saat penyiaran
berlangsung yang pastinya akan timbul tanya jawab antara penyiar sama khalayak
dengan lewat media radio. Di situlah letak interaksi secara ulang alik dan bisa
timbal balik dalam percakapan. Khalayak
bisa memberi komentar dan bisa sharing satu sama lain.
D.
Teori Proses Selektif
Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat melakukan suatu
proses seleksi sehingga masyarakatlah yang secara selektif menentukan, efek apa
yang mereka ingin dapatkan dari informasi yang diberikan oleh media.
Masyarakat, pada umumnya akan menghindari informasi yang datang dari media,
yang secara fundamental kontradiktif dengan nilai-nilai atau ideologi yang
selama ini mereka miliki, dan yakin akan kebenarannnya. Sebagai contoh,
kelompok masyarakat yang mendukung invasi Amerika Serikat ke Irak, tidak akan
membaca artikel mengenai pembentukan kedamaian di Irak, dan penghapusan perang.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper berpendapat melalui penelitiannya mengenai efek
media pasca perang. Klapper menyimpulkan bahwa media merupakan organisasi yang
lemah, media gagal dalam menambah partisipasi politik masyarakat (ataupun
Partisipasi dalam pemilu).[8]
Secara umum khalayak mempunyai sifat seleksi,
pandai memilah dan memilih tentang adanya suatu informasi yang di suguhkan oleh
media. Masyarakat tidak menerima informasi tersebut secara langsung, melainkan
mereka harus menyaring mana yang penting dan mana yang tidak penting. Disini
menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak mudah
untuk dipengaruhi oleh media.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara harfiah, hipodermik berarti “di bawah kulit”.
Dalam ilmu komunikasi massa, istilah ini berkaitan dengan anggapan bahwa media
massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera, dan langsung, yang sesuai
dengan pengertian “perangsang tanggapan” (setimulus-respon) yang mulai dikenal
sejak awal perkembangan ilmu komunikasi.
Teori Uses dan Grafication merupakan
kebalikan dari teori peluru. Teori ini lebih menekankan pada pendekatan
manusiawi dalam melihat media massa. Artinya, menusia itu mempunyai otonomi,
wewenang untuk memperlakukan media. Menurut pendapat teori ini, konsumen media
mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana (lewat media mana) mereka
menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Teori
ini juga menyatakan bahwa media dapat mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan.
Teori komunikasi satu tahap adalah
warisan teori jarum hipodermik dalam versi yang lebih murni. Teori ini media
tidak mempunyai kekuatan yang hebat. Aspek pilihan penampilan, penerimaan, dan
penahanan dalam ingatan yang selektif memengaruhi pesan yang ada. Komunikan
bukanlah pihak yang semata-mata dapat dibentuk oleh media seakan pihak yang tak
berdaya. Selain itu, efek media anatara satu individu dan lainnya pada massa
tidaklah sama.
Teori proses selektif menjelaskan bahwa
masyarakat melakukan suatu proses seleksi sehingga masyarakatlah yang secara
selektif menentukan, efek apa yang mereka ingin dapatkan dari informasi yang
diberikan oleh media
B.
Saran
Cukup sekian apa yang dapat saya sajikan, saya menyadari
banyak kekurangan dalam isi penulisan makalah ini, mohon saran dan kritiknya
agar saya dapat memperbaikinya lagi. Khususnya dari Ibu dosen kritik dan saran
sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nurani Soyomukti, 2010, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media
Styawan, Teori-teori Komunikasi Massa, (Online),
https://yulianpranata.wordpress.com/2010/10/26/teori-teori-dan-model-komunikasi/, diakses tanggal 27 Februari 2017.
Winarni, 2003, Komunikasi Massa, Malang: UMM Press
(Online),
https://id.wikipedia.org/wiki/9_Teori_Dampak_Media, diakses tanggal 27 Februari
2017
[2] Styawan, Teori-teori Komunikasi Massa, (Online),
https://yulianpranata.wordpress.com/2010/10/26/teori-teori-dan-model-komunikasi/, diakses
tanggal 27 Februari 2017.
0 komentar:
Posting Komentar